BANDA ACEH (12/08/18)– Gempa 7.0 Skala Richter (SR) yang melanda Lombok, Nusa Tenggara Barat (NTB) ternyata sudah tercatat dalam dalam kitab kuno yang dipamerkan di Rumoh Manuskrip Aceh yang ada di Museum Aceh pada Pekan Kebudayaan Aceh (PKA) VII di Banda Aceh.
Kitab kuno yang sudah ada sejak abad 18 itu membahas tentang gempa berdasarkan waktu kejadian. Gempa di NTB terjadi pada Minggu, 5 Agustus 2018 atau 23 Dzulkaidah 1439 H, sekitar pukul 18.46 WIB. Bisa diutarakan bahwa gempa terjadi sewaktu Maghrib.
"Jika pada Bulan Dzulkaidah gempa ketika magrib alamat orang kaya banyak mati," kata penjaga stan, ungkap Istiqamatunnisaq saat membaca kitab yang dibuat tahun 1725 tersebut.
Maksud dari kalimat itu adalah, sebutnya, akan banyak orang yang meninggal akibat gempa.
Istiqamatunnisaq juga membacakan gempa yang terjadi di waktu-waktu lainnya. Bahkan, gempa dengan disusul tsunami yang terjadi di Aceh pada Minggu 26 Desember 2004 silam dalam waktu Dhuha (pagi) juga tertera di kitab tersebut.
"Jika pada bulan Dzulkaidah gempa, pada ketika subuh alamat segala buah-buahan menjadi dalam pohon itu. Jika pada ketika Dhuha alamat bala akan datang kepadanya tsunami. Jika ketika zuhur alamat hujan sangat akan datang kepadanya. Jika ketika Ashar alamat baik negeri itu padanya. Jika pada jika pada ketika magrib alamat orang kaya banyak mati. Jika pada Isya alamat orang yang dari jauh akan datang ke negeri itu padanya," bacanya.
"Bab jika pada bulan Dzulhijjah lembu-lembu banyak, bermula air kurang pada tahun itu. Bermula jikalau pada malamnya gempa alamat orang banyak sakit adanya pada tahun itu," baca Istiqamatunnisaq lagi.
Sementara itu, kolektor manuskrip kuno sekaligus pemilik kitab kuno itu, Tarmizi A Hamid, mengatakan, Indonesia memang daerah yang rawan akan gempa.
"Ulama dulu menulis manuskrip Aceh sesuai dengan peristiwa, jadi dengan adanya manuskrip gempa yang begitu lengkap, begitu detil, berarti negara kita ini dikepung oleh bencana atau rentan dengan bencana," kata Tarmizi atau dikenal dengan Cek Midi.
Mengenai siapa penulisnya, ia tidak mengetahuinya, namun dapat dipastikan bahwa kitab itu ditulis oleh para ulama dan pemikir sufi sekitar abad ke-18. Hal itu berdasarkan watermark yang ada pada kertas.
Meskipun demikian, dia kembali menegaskan bahwa alam Indonesia memang rawan bencana. Dia menambahkan tidak mungkin orang dahulu menulis kitab tersebut jika tidak ada peristiwa yang terjadi selain untuk dipelajari.
"Dengan adanya catatan dari manuskrip ini baru kita tahu bahwasanya Indonesia ini memang rentan atau sangat dekat dengan bencana," jelas Cek Midi.[]
Komentar
Posting Komentar