Langsung ke konten utama

Guru Yang Terseret Ke Pusaran Politik



Oleh Tabrani Yunis

Perhelatan pemilihan kepala daerah (Pilkada) serentak di 171 daerah di Indonesia sudah selesai diselenggarakan pada 27 Juni 2018 lalu. Kini, mereka atau kepala daerah yang sudah terpilih tinggal menunggu waktu pelantikannya, sembari menghadapi musim Pilpres 2019 yang sudah di ujung hidung. Sehingga gelegar isu politik di tanah air terus menggema, sejalan dengan panasnya suhu politik yang dihembuskan oleh mesin politik dari masing-masing kubu, masing-masing Timses, masing-masing pendukung baik, yang fanatic maupun yang setengah hati. Pokoknya, suhu politik sepanjang hari bisa naik turun, tergantung pada kelihaian para politisi dan pendukung fanatic setiap pasangan calon.

Sebagaimana kita ketahui bahwa perhelatan politik di tanah air, tentu saja melibatkan banyak pihak atau orang. Keterlibatan tersebut berada di semua lini atau tingkatan. Sehingga, jangan heran kalau setiap pasangan calon, maupun pasangan yang sudah terpilih di balik keberhasilan mereka ada pihak-pihak yang terlibat sebagai timses atau team suksesi beserta para relawan. Biasanya, mereka yang terlibat dalam timses dan relawan ini adalah orang-orang terdekat dari setiap pasangan yang siap hidup dan mati memperjuangkan keberhasilan calon pemimpin mereka. Keterdekatan tersebut misalnya kedekatan kapasitas, relasi atau nepotisme, uang dan kepentingan lain yang potensial untuk keberhasilan meraup suara.

Masing-masing daerah di era desentralisasi ini, memiliki kiat-kiat tersendiri dalam mendapatkan pengaruh serta suara. Sejalan dengan berlakunya desentralisasi ke kabupaten dan kota, maka daya (kemampuan) seorang kepala daerah akan dengan mudah mendapatkan dukungan, karena selalu ada relawan dan timses yang bisa saja direkrut atau karena hal lain. Semua kekuatan bisa ditarik dan diseret ke pusaran kekuasaan politik di tingkat daerah, termasuk guru, sang pendidik di sekolah yang seharusnya bersikap independen, ikut menjadi bagian yang terseret ke pusaran politik kekuasaan pemerintah daerah.

Tidak dapat dipungkiri bahwa selama ini semakin banyak guru yang diseret dan terseret ke dunia politik. Yang diseret berarti ada banyak guru yang diajak untuk ikut menyukseskan suksesi seorang atau pasangan calon kepala daerah, karena dinilai memiliki pengaruh yang besar. Sementara guru-guru yang terseret, merupakan guru yang tergiur dengan iming-iming jabatan kalau jagoan mereka menang, sehingga bisa menikmati indahnya hidup berada di pusaran kekuasaan kepala daerah, atau juga seseorang yang “dipaksa” ikut menjadi bagian tim sukses untuk seorang atau sepasang calon kepala daerah bila ingin nanti mendapat jabatan.

Fakta di tengah masyarakat kita kini sudah banyak guru yang diseret dan terseret ke kancah politik praktis. Mereka ada di pusaran calon kepala daerah dan bahkan sejak Pilkada atau Pemilu lalu sudah menjadi bagian dari pemerintah sekarang. Berawal dari menjadi bagian dari timses, lalu mendapat bagian bayar jasa dalam bentuk jabatan. Dalam banyak kasus, jenjang karir dalam pekerjaan tidak menjadi pertimbangan lagi. Faktor kedekatan dan balas jasa menjadi lebih penting dibandingkan kemampuan atau kapasitas. Sehingga, tidak perlu diherankan apabila fungsi baperjakat dan pengawas pendidikan tidak berfungsi dengan normal. Kepala daerah yang dimenangkan akan dengan mudah dan tanpa melihat kompetensi serta dampak terhadap pendidikan bisa mengangkat kepala sekolah tanpa memperhatikan prosedur yang berlaku. Misalnya untuk menjadi kepala sekolah harus memiliki kapasitas yang sudah ditentukan seperti pangkat dan golongan, pendidikan, kompetensi, serta syarat lulus seleksi cakep dan sebagainya, menjadi tidak penting. Semua itu diabaikan. Padahal, semua itu adalah syarat menjadi kepala sekolah. Bukan hanya pada tataran kepala sekolah, tetapi jugapada tataran kepala Dinas Pendidikan, kendatipun ada fit and proper test, itu lebih banyak kamuflase. Karena budaya nepotisme dan politik balas budi, mematikan semua prosedur yang telah dibuat. 

Nah, ketika banyaknya guru yang terseret ke pusaran politik penguasa di level kabupaten kota tersebut, apakah berdampak buruk terhadap dunia pendidikan? Walau mungkin tidak dijawab ya, dalam realitas kini, banyak guru di daerah yang mengeluhkan hal ini. Tindakan menyeret dan terseretnya guru ke pusaran politik tersebut membawa banyak dampak buruk, walau secara pribadi berdampak positif bagi guru yang mendapat kesempatan hadiah jabatan lebih tinggi.  Di pihak lain, tindakan ini merugikan dunia pendidikan. Kerugian itu di antaranya, pertama adalah tercerabutnya guru-guru atau kepala sekolah yang berkualitas yang seharusnya bisa meningkatkan kualitas sekolah sebagai bagian dari kualitas pendidikan. Sebagai contoh, ada kepala sekolah yang diangkat menjadi camat. Kedua, guru terlibat sebagai tim sukses Bupati atau Gubernur, maka ketika Bupati atau kepala daerah tersebut terpilih, maka para guru yang terlibat timses mendapat imbalan untuk mengatur dunia pendidikan. 

Pada kondisi ini, bahkan Timses yang tidak memiliki kapasitas di bidang pendidikan, bisa mengatur pendidikan sesuai dengan seleranya. Ke tiga, guru maupun kepala sekolah yang berkompeten karena tidak sejalan atau sealur politik, tersingkir dari jabatan yang sedang dijalankan. Ke empat, menimbulkan kegundahan banyak kepala sekolah dan guru yang tidak ikut mendukung calon kepala daerah tersebut. Mereka yang sedang menjabat sebagai kepala sekolah atau jabatan tertentu akan merasa tidak aman dan nyaman ketika Bupati baru akan dilantik. Sebab, Tim sukses akan memainkan peran dalam mengatur orang-orang yang menjadi bagian dari pendukungnya. Jadi, ini akan sangat merusak dunia pendidikan kita.

Mengingat betapa buruknya dampak yang diakibatkan oleh terseretnya guru ke pusaran politik tersebut, kiranya, pemerintah daerah yang sudah terlanjur menyeret guru tersebut, harusnya lebih bijak dan bisa bertindak lebih rasional terhadap kepentingan dunia pendidikan yang menjadi kebutuhan dan hajat hidup orang banyak tersebut. Pemerintah daerah yang seharusnya membangun dan meningkatkan kualitas pendidikan, tidak merusak tatanan prosedur dan suasana pendidikan yang baik menjadi suasana yang mencemaskan para praktisi pendidikan. Pendek kata, tidak sepatutnya guru diseret masuk ke pusaran politik, karena ketika guru diseret masuk ke pusaran politik, mau tidak mau, dunia pendidikan akan ikut terseret menjadi tidak aman dan tidak nyaman. Menyeret guru ke pusaran politik adalah tindakan penghancuran dunia pendidikan. Oleh sebab itu, alangkah baiknya bila posisi guru dikembalikan kepada posisi dan fungsinya sebagai tenaga edukatif yang menjaga dan merawat pendidikan secara berkualitas. Posisi ini jauh lebih penting dijaga dan dirawat agar mereka bisa mencerdaskan genarasi bangsa dengan aman dan nyaman.  Maka, jalan yang terbaik adalah kembalikan guru ke pusaran pendidikan, bukan ke pusaran politik penguasa yang sedang berkuasa. Semoga bisa dimengerti.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimpi Besar Arisqa Rinaldi Terwujud dalam Usaha dan Doanya

Arisqa murid kelas 5 SDN 2 Kandang, Kecamatan Kleut Selatan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi pada ilmu pengetahuan, yaitu di bidang IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Setiap malam, dia selalu meluangkan waktunya untuk membaca buku-buku tentang sains, melakukan eksperimen sederhana dan bertanya kepada gurunya tentang berbagai fenomena alam yang menarik minatnya. Keinginannya untuk memahami dunia di sekitarnya tidak pernah kandas dan mimpi terbesarnya adalah menjadi juara dalam Olimpiade Sains Nasional (OSN) di tingkat Kabupaten Aceh Selatan. Arisqa menyadari bahwa untuk mencapai mimpinya, dia harus bekerja keras dan berlatih dengan tekun.  Dengan dukungan penuh dari orang tuanya yang selalu mengingatkannya di depan pintu gerbang sekolahnya, ayahnya berkata, “Nak teruslah berproses dan jangan lupa hormati gurumu”.    Dengan    bimbingan dari guru-guru di sekolahnya, Arisqa mempersiapkan diri dengan baik. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Arisqa selalu menyempat...

Profesor

Oleh Ahmad Rizali Berdomisili di Depok Jagat maya akademik sedang gaduh karena ibu Megawati memperoleh gelar Guru Besar Tidak Tetap Honoris Causa dari Universitas Hankam.  Beberapa sahabat saya sering jengah bahkan ada yang berang, karena kadangkala saat diundang bicara dalam sebuah perhelatan akademis, ditulislah di depan namanya gelar Prof. Dr.    Setiap saat pula beliau menjelaskan bahwa dirinya hanya S1.  Satu lagi sahabat saya yang bernasib sama dengan yang di atas. Kalau yang ini memang dasar "rodok kusruh" malah dipakai guyon. Prof diplesetkan menjadi Prov alias Provokator, karena memang senangnya memprovokasi orang dengan tulisan-tulisannya , terutama dalam diskusi cara beragama dan literasi.  Sayapun mirip dengan mereka berdua. Namun karena saya di ijazah boleh memakai gelar Insinyur, tidak bisa seperti mereka yang boleh memakai Drs, yang juga kadang diplesetkan kembali menjadi gelar doktor lebih dari 1. Saya pikir mereka yang pernah memperoleh gelar Do...

FJL Aceh Nilai Distribusi Data Bencana di Aceh Belum Baik

  BANDA ACEH - Potretonline.com, 03/01/22. Forum Jurnalis Lingkungan (FJL) Aceh menilai distribusi data terkait bencana banjir di beberapa kabupaten saat ini belum baik. FJL Aceh menyarankan agar Badan Penanggulangan Bencana Aceh (BPBA) memfungsikan pusat data informasi dengan maksimal. Kepala Departemen Monitoring, Kampanye, dan Advokasi FJL Aceh Munandar Syamsuddin, melului siaran pers, Senin (3/1/2022) menuturkan BPBA sebagai pemangku data kebencanaan seharusnya memperbarui data bencana setiap hari sehingga media dapat memberitakan lebih akurat. "Memang tugas jurnalis meliput di lapangan, namun untuk kebutuhan data yang akurat harusnya didukung oleh instansi terkait, dalam hal ini pemangku data adalah BPBA," kata Munandar. Penyediaan data satu pintu, kata Munandar, sangat penting agar tidak ada perbedaan penyebutan data antarmedia. Misalnya, data jumlah desa yang tergenang, jumlah pengungsi, dan kondisi terkini mestinya diupdate secara berkala. Perbedaan penyebutan data ak...