Dok. Aceh Media Art
Oleh : Nasrizal
Guru SD yang berdomisili di Manggeng, Aceh Barat Daya
Ketika waktu istirahat tiba, aku masuk ke ruang guru dan duduk di kursi yang telah disediakan untuk setiap guru. Seperti kebanyakan orang sekarang, setiap kali duduk sendiri, tangan akan merogoh saku, mengambil handphone. Seakan-akan handphone memang menjadi sahabat untuk berkomunikasi, di kala sepi atau juga untuk menyibukan diri. Yang jelas, orang-orang sekarang, menjadikan handphone sebagai teman dan pembunuh sepi. Aku sendiri, juga menjadi salah satu dari sekian banyak orang yang telah mengalami dampak buruknya.
Nah, ketika handphone sudah berada di tangan, maka pilihan menu sering tertuju ke media social, seperti facebook, twitter atau yang lainnya. Aku sendiri kala itu membuka Google mencari informasi soal seni. Secara kebetulan, aku menemukan sebuah link tulisan di www.watyutink..com. Aku menemukan sebuah tulisan yang berjudul “ Banyak Jalan Menyelamatkan Seni Tradisional”. Tulisan itu, semakin menarik perhatianku, karena ternyata yang menulisnya adalah sahabatku, sahabat di masa kecil, yang menjadi teman sepermainan ketika masih sekolah di SD Negeri 2 Manggeng, Aceh Barat Daya ( dahulu masuk wilayah Aceh Selatan). Aku merasa, aku wajib membaca. Paling tidak, tulisannya ini bisa menjadi obat kangen, karena kami sudah lama tidak bertemu. Ya, aku tinggal di Manggeng, sementara Tabrani Yunis sudah lama meneinggalkan kampung halaman, setamat SMP di tahun 1979. Kini ia tinggal di Banda Aceh.
Usai membaca tulisan Tabrani Yunis tersebut, pikiranku menerawang jauh ke masa kecil. Ya, dulu ketika kami sering menonton seni pertujukan seperti layar tancap di lapangan dan juga pagelaran seni tutur yang kala itu merupakan seni tradisional yang sangat digemari oleh masyarakat di Manggeng dan daerah-daerah lainnya di wilayah pantai barat Aceh itu. Di antara banyak hal yang aku bayangkan, pikiranku tertuju pada seni tutur Dang deria. Itulah nama cerita yang aku ingat dan masih melekat di ingatanku. Aku tidak tahu dari mana asal seni tutur itu, kala itu.
Namun, setelah aku duduk sekolah SMP, aku menemukan jawaban bahwa seni tutur dang deria itu memang berasal dari Manggeng. Seni ini kemudian dikenal sebagai salah satu seni mondok yang berasal dari Manggeng, Aceh Barat Daya ( dahulu masuk ke wilayah Aceh Selatan). Seni ini menurut sejarahnya adalah buah karya dari almarhum Mak Lape. Seni tutur yang sangat degemari oleh masyarakat, khususnya masyarakat yang tinggal di wilayah pantai barat Aceh, kala itu. Ya, pokoknya, dangderia itu merupakan seni pertujukan yang ditampilkan di setiap ada acara pesta pernikahan maupun acara sunat rasul. Sang story teller, Mak Lape, selalu tampil mengisahkan cerita Dangderia yang sering tidak selesai atau habis satu malam, tapi bisa lebih dari satu malam. Bayangkan saja, para penikmat atau penonton seni ini menonton dengan sangat antusias. Bayangkan saja, mereka mau mendengarkan cerita itu dari usai salat Isya, hingga waktu subuh.
Kini ada anaknya yang sudah berumur 60 tahun yang bernama Muda belia. Ia juga sering menampilkan seni ini di banyak pertunjukan, seperti ketika digelar acara Pekan kebudayaan Aceh. Sayangnya, tidak ada yang menjadi pelanjut generasi dari seni tradisional ini, sehingga kini sudah tak terdengar lagi. Padahal, seni ini masih sangat menarik untuk disaksikan, juga banyak memberikan pelajaran, karena seni ini juga media belajar bagi masyarakat, lewat pesan-pesan yang disampikan dalam cerita yang dituturkan tersebut. Seni tutur yang dimainkan oleh hanya satu orang, namun dapat menceritakan banyak hal serta dengan nada dan suara yang berbeda, terutama ketika ia sedang memainkan peran sebagai raja. Lalu, ketika ia harus memerankan prajurit yang lengkap dengan alat-alat perangnya, ia pun dengan tangkas dan cepat bisa memainkan, tanpa ada jeda yang membatasi peran itu. Kelihaiannya memainkan peran dan bersuara menyaru suara perempuan, suara raja, suara prajurit membuat suasana pertunjukan menjadi semakin menarik, apalagi pukulan bantal yang diatur sedemikian rupa itu, menghentak-hentak. Lalu, untuk menjaga agar suara tidak parau, sang teller sekali-kali menguk air kelapa yang disediakan tidak jauh dari tempat duduknya.
Selain Muda belia, sebenarnya seni tradisional ini menjadi sangat popular ketika ( konon, Adnan, kini sudah almarhum, menjadi pelanjut generasi). Adnan PMTOH, itulah nama yang popular sebagai sosok yang membuat seni ini cukup dikenal orang. Namun, Adnan PMTOH kemudian melakukan berbagai upaya modifikasi, melaukan improvisasi dengan lebih modern, menggunakan bermacam-macam alat yang membantunya pada setiap kali tampil dan bahkan membuat banyak penonton yang terpukau.
Mak Lape sudah lama tiada, sementara anaknya Muda belia pun sudah semakin tua, sementara, Adnan PMTOH juga sudah lama meninggal. Bagi generasi tua yang sempat menyaksikan pertunjukan seni tradisional itu, mungkin masih terbayang-bayang, namun anak-anak sekarang, apalagi generasi milenial dan generasi Z yang hidup di era hiburan yang serba digital ini, mereka sama sekali tidak mengenal seni itu. Bagi yang tua yang masih terkenang, mungkin hanya bisa merindukan saja. Seperti apa yang penulis terawang dalam pikiran dan cerita ini. Semoga ada genarasi kini yang mau menggali kembali dan melanjutkan tradisi seni itu. Semoga saja.
Imajisia, sebuah jln pintas utk kembali meluruskan sastra yg konon kian anarkis itu.
BalasHapus