Dok. Mongabay
Oleh Lina Zulaini
Menapaki sebuah kota kecil.
Aku suka melihatnya seorang diri dari sudut yang berbeda.
Saat menunggu bus menjemput.
Mengamatinya adalah anugerah.
Usianya tak lagi belia.
Jamin itu membulat di pikiranku.
Keriput terpatri di sela-sela senyumnya, dan itu tampak sangat jelas, bahkan dari jarak yang tak dekat.
Tampak sesekali tangan sedikit bergetar saat ia mengutip beberapa benda di depannya.
Atau bahkan telunjuknya sering tak lurus ketika menunjuk arah kepada mereka.
Kadang ia menghela, setelah menuai senyum kepada raga yang sempat menyapa.
Harga yang mereka tawar terkadang membuatnya mengalah.
Kadang pula, lahir senyum camar begitu mekar pabila di antara mereka menyuguh di atas tawar.
Dia adalah wanita itu.
Sosok hawa yang tiada masa untuk libur.
Ada banyak harta yang ia saji.
Mulai dari hati hingga mimpi.
Dia adalah wanita itu
Dengan tubuh yang tak lagi tegap dan tangguh.
Namun mampu memangku berat untuk dunia dari sang buah hati.
Dia adalah wanita itu.
Berkerudung oleh waktu duka yang masih jadi teka-teki untukku.
Bahkan untuk sekadar mengenal nama.
Dia adalah wanita itu.
Menghiasi hari kota kecil ini, duduk merajut asa bersama bekal untuk dijual.
Yang akan pulang setelah setengah langit mulai menguning.
Dia adalah wanita itu
Bersimpuh pada setiap pembeli dengan bisa tersembunyi.
Di sudut kota sepi ini, seorang diri.
Untuk: Sang wanita yang selalu jadi perhatianku.
Dari: Aku, yang suka melihatmu di kejauhan.
Sudut kota kecil, 24 Januari 2019
Komentar
Posting Komentar