Dok. Amkepo Blog
Oleh Salsabila Helga Putri
Kelas X IPA C, SMA Negeri 1 Bireun, Aceh
Pertama sekali saat aku mulai menulis, ternyata aku berhasil membuat dan menyusun beberapa kata hingga menjadi sebuah kalimat. Kalimat itu berhasil kurangakaikan menjadi sebuah paragraf. Awalnya, aku berniat untuk membuat sebuah novel lewat tulisan sederhana yang tercipta dari pikiranku sendiri. Memang itu baru pertama sekali. Mungkin jika dibandingkan dengan cerita yang diciptakan orang lain, ceritaku jauh di level bawah. Saat menulis, aku merasa tenteram sekali, karena apa? Karena apa yang ada di pikiranku, aku keluarkan lewat tulisan pertamaku. Mungkin sebagian orang beranggapan bahwa menulis itu sangat membosankan. tapi menurutku tidak, aku jauh lebih nyaman di saat aku sedang menulis. Rasanya, semua masalah yang ada di hadapanku hilang dan musnah. Aku sangat mengingat saat-saat di mana aku pertama kali ingin menciptakan sebuah cerita. Aku sangat menyukai genre fantasi. Itu membuat ideku semakin berkembang . Itu juga membuat pikiranku semakin luas.
Cerita yang pertama sekali kutliskan berjudul, “City of Ruin”.Saat itu pikiranku melayang-layang. Saat kutemukan kertas-kertas tempag dimana aku membuat ceritaku, lalu aku membacanya. Itu sangat luar biasa. Saat aku membacanya, aku merasa sedang benar-benar di kota itu. Aku pun langsung merasakan, aku yang ada di cerita itu. Ya, terasa sangat fantastis. Aku tidak menduga, ketika pertama sekali menuliskan cerita itu, ternyata hasil ceita yang kutulis sangat bagus. Hebatnya lagi, efek dari penulisan cerita itu masih kurasakan hingga kini. Sementara aku, bagai tak percaya dengan cerita yang aku tulis. Hingga di selembar kertas, cerita itu tak berakhir. Ya, maksudnya cerita itu tiada akhir. Cerita itu puntung. Itu sangat mengecewakan. Saat itu, ideku hilang. Cerita itu sampai sekarang tidak ada kelanjutannya.
Itu adalah salah satu masalah yang sering terjadi saat aku sedang menulis. Mungkin hal seperti ini juga sering diamali oleh para penulis lain, apalagi para penulis pemula. Pasti pernah berhadapan dengan hal seperti ini. Hal seperti ini, sering membuat aku menjadi malas menulis. Buktinya, aku selama sekian lama menjadi malas menulis. Namun, setelah sekian lama, aku mulai membuat cerita keduaku. Cerita yang berbeda dengan yang pertama. Aku menuliskan cerita itu pada sebuah buku. Buku yang terus kubawa ke mana-mana.
Di suatu malam, aku menaruh buku ceritaku di atas meja di tempat aku mengaji. Temanku, membaca buku itu. Ia membaca cerita keduaku. Ia pun berkomentar kalau tulisan atau ceritaku itu sangat bagus. Ia memintaku untuk meneruskan cerita itu. Ternyata, komentar-komentar teman-temanku itu mendorong aku untuk melanjutkan ceritaku yang kedua itu. Tetapi, karena pengalaman menulis yang pertamaku, dalam menulis cerita yang kedua ini, aku juga kehilangan ide. Aku merasa putus asa. Namum, semangatku muncul kembali setelah aku membaca sebuah novel. Membaca novel adalah sebuah kesukaanku. Aku membaca novel yang menurutku sangat menarik dan membuatku tidak bosan membacanya.
Sayangnya, semua cerita yang aku tulis, menjadi cerita yang tak berujung. Semua cerita yang awalnya ingin kuselesaikan, semua tak berakhir. Kecuali sejumlah puisi. Aku bangga, walau hanya mampu menggubah sejumlah puisi. Walau sebenarnya menulis puisi bukan hal yang paling aku sukai. Apalagi di sekolah, sedang berada dalam materi penulisan puisi. Aku pun menulis sebuah puisi yang berjudul, Sang Penabur dosa”. Kebetulan, saat itu di sekolahku sedang diselenggarakan lomba menulis buku dala satu kelas. Dalam kesempatan itu, aku menulis atau mencipta puisi pertamaku tentang orang-orang yang mempengaruhi orang-orang lain dengan hal-hal yang tidak baik, mengusik jiwa orang lain.
Aku pantas merasa bahagia dan sedikit berbangga, karena paling tidak aku mulai tertari menulis. Apa yang aku rasakan, seakan aku menjadi penulis muda yang akan terkenal di suatu hari. Paling tidak, aku sudah punya pengalaman yang berharga dalam hal menulis. Kata orang bijak, pengalaman itu adalah guru terbaik.
Komentar
Posting Komentar