Ilustrasi dok.perpustakaan.id
Oleh : Cha Canlierz
Mahasiswa Universitas Muhammadiyah Pekanbaru, Riau
Masih kuraba pakaian Limpapeh Rumah Nan Gadang. Busana khas Minang yang akan kugunakan saat ijab kabul nanti. Bersama seorang pria sederhana yang sedikit bicara. Ia lelaki sempurna yang pernah bersemayam di hatiku. Bukan kekasih pertamaku, aku lupa entah berapa banyak deretan nama mantan sebelum dirinya. Dia yang terakhir, itu saja yang kukenang.
Kami memang tak diperbolehkan bertemu dulu untuk beberapa saat ini menjelang saat Ia halal untukku. Kudekap baju pengantinku. Kami memang tinggal bukan di Minang, tapi di Pekanbaru, dan ia ingin menunjukkan kami adalah orang Minang.
“Apa yang kamu fikirkan?”kata Mama. Aku hanya menggeleng. Tak ingin sedikitpun membagi hal yang mengimpit dadaku yang kian bergemuruh. Haruskah kukatakan pada Mama bahwa pernikahan itu dibatalkan?
“Aku ingin berjumpa denganmu senja ini di Perpustakaan Riau, tempat kita berjumpa dulu.”Pesan singkat itu kuterima dari kekasihku satu minggu setelah aku menerima lamarannya.
Aku berangkat menuju ke Pustaka Wilayah Pekanbaru. Di tempat ini kami dipadukan, berawal dari berebut buku tradisi Melayu membuat semakin dekat. “Aku butuh buku ini untuk tugas di kampus.”katamu kala itu. “Aku juga sangat butuh buku ini. Tolonglah mengalah dengan perempuan!”aku setengah meminta, tapi ia tak peduli.
Aku masih sibuk mencari-cari buku tentang Melayu. Lalu, Aku mencium aroma parfum Devidove Oil di indra penciumanku. Bukan mahal, tapi parfum ini berkesan olehku. Kuikuti laju aroma itu, tepat di sampingku berdiri lelaki yang merampas buku yang kuincar. Ia tersenyum puas. Aku benci senyumnya.
Ia menyodorkan buku yang ia rebut tadi, “Pakailah! Aku telah selesai.”Ia berlalu begitu saja. Aku temangu.
***
“Aku memang sering menghabiskan waktu di sini,”katanya. Tempat ini sepi. Jarang orang yang datang untuk membaca buku, kebanyakan dari mereka menghabiskan waktu hanya untuk mendapat fasilitas Wi-fi. Itu saja. Tak lebih.
Berbeda dengan lelaki ini, tak ada laptop di mejanya, cuma tumpukan kertas-kertas tak penting menurutku, ditambah buku-buku tebal di dekatnya.
“Boleh aku duduk di sampingmu kak?”
“Maaf, aku lebih nyaman sendirian di sini.”Ia tak menatapku, dari nada bicaranya jelas ia tak menyukai kehadiranku.
“Maaf jika aku mengganggu. Aku hanya ingin mengucapkan terimakasih atas buku tempo hari,”ucapku kesal.
Semenjak hari itu, kami makin dekat, ia makin sering duduk di sebelahku. Sering menatap nanar ke buku-bukuku. Aku yang lebih sering membaca novel yang kubawa sendiri dari rumah karena di pustaka tak ada novel menyegarkan, di sini bacaannya berat menurut kapasitas otakku.
Sedangkan ia, lelaki dengan bacaan sastra yang menjemukan untukku. Kami sering menghabiskan waktu dengan cumbuan jenis buku yang berbeda, kadang diam.
***
“Aku minta maaf atas sikapku, tempo hari. Aku ingin mengulang semuanya lagi. Maukah kamu memberiku kesempatan?”ia langsung duduk di sebelahku. Aku tahu, ia menangkap rona kesedihan di wajahku.
“Tak apa. Itu memang sudah terjadi kak. Aku malah bersyukur mengetahuinya lebih awal. Sebelum terlambat,”aku tekan laju emosiku, aku tak ingin menangis di depannya.
“Tak bisakah kamu urungkan niatmu? Undangan itu sudah disebar. Apa mungkin kita bisa melalui rasa malu yang akan muncul nanti.”
“Lebih baik kamu bersama orang itu. dibandingkan denganku. Aku juga udah nggak bisa ngelanjutin hubungan kita lagi.”Kubuat nada suara setenang mungkin.
“Apa kamu sudah tak mencintaiku lagi?”ucapnya. Aku menangkap sorot bersalah di kebeningan matanya, namun itu tak cukup untuk menghilangkan sebuah ingatan memuakkan itu.
***
Sepanjang hari, aku merasa tak enak hati. Seharian kemaren aku mendiamkan kekasihku hanya karena moodku sedang tak baik. Setelah berfikir berulang kali, aku putuskan untuk datang ke kosannya. Aku punya kunci duplikat kosannya.
Kami masih dalam waktu masa pingit. Seharusnya tak boleh jumpa dulu, tapi rasa bersalahku mengalahkan semuanya. Aku berdiri di depan kosannya. Ku gedor pintu itu berkali-kali tapi tak ada jawaban.
“Uni, cari Uda Ali ya?”kata Rio, tetangga sebelah.
“Iya. dia sepertinya masih kuliah. Aku tunggu di dalam sajalah,”kataku.
“Sebaiknya Uni datang nanti aja, jangan masuk.”
“memangnya kenapa? Aku kan biasa nunggu di dalam.”
“Whatever lah. Aku cuma mau nginetin Uni,”katanya seraya masuk dalam kosannya.
Rumah itu nampak berantakan, tak seperti biasanya. Berpacaran dengan Kak Ali sekian lama, aku tahu ia adalah sosok pria yang tak pernah mengabaikan kebersihan.
Ku punguti pakaian itu, satu persatu. Ada beberapa pakaian yang tak pernah ku lihat. Aku bahkan telah hapal pakaian yang ia punya. Pintu kamarnya tertutup. Awalnya aku mengacuhkannya saja. Aku masih sibuk membereskan kosannya. “Ada orang yank?”aku mendengar samar-samar sebuah suara yang datangnya dari kamar kekasihku.
“Mungkin, tetangga sebelah,”sahut suara kekasihku. Aku makin penasaran, kuhinggapi kosan itu, hingga saat ini aku berdiri di sisi kamarnya yang cuma dibatasi triplek. Cukup jelas mendengar percakapan orang di dalam. Entah mengapa, aku hanya mematung di sana.
Makin lama, suara itu makin terdengar jelas. Percakapan-percakapan dengan nada mesra makin intens aku dengar. Dadaku bergemuruh. Ku dobrak pintu itu. pintu yang memang tak ada pengait kuncinya. Pintu yang hanya triplek tipis.
Terpampang jelas, dihadapanku. Lelaki ku tersayang tengah berpadu dengan…, Astaghfirullah. Mereka pasangan sejenis. Seketika aku muak melihat pemandangan itu. aku menghamburkan diri keluar, berlari menghindari rumah menjijikkan itu.
***
“Bersamamu aku merasa seperti lelaki sesungguhnya. Bersamanya aku merasa nyaman. Aku tak tahu,apa yang harus aku lakukan?! Aku jua tak tahu cinta macam apa ini?! Jika ada sebuah kesempatan, maukah engkau mengubahku menjadi lelaki normal seutuhnya?”
Pesan singkat dari nya kuterima pagi ini. Hidup memang sebuah pilihan, namun aku baru sadar pilihan yang harus aku ambil adalah pilihan yang sulit. Apakah aku akan menyelamatkan ia dari jeratan nafsu sejenis atau menyelamatkan diriku sendiri.
Hampir saja aku menjauhkan diri dari rahmat Tuhan, jika saja tak ku dengar nasihat ibunda tercinta dengan penuh suka dan duka, “karena Allah sayang sama kamu, makanya Ia menunjukkan itu sebelum kalian resmi menjadi suami istri.”
Ibu benar. Allah Maha Benar. Kini, akan kutanggung malu karena gagal kawin daripada malu esok untuk kabar perceraianku dengan dirinya yang penyuka sejenis. Ini hidup. Ini pilihan. Meski sulit, tetap saja inilah kehidupanku. []Pekanbaru, 25 November 2011.
Komentar
Posting Komentar