Sebagai orang Indonesia yang hidup di Indonesia, setiap hari menggunakan bahasa Indonesia. Menggunakan bahasa Indonesia mulai dari mendengar, membaca, berbicara, bahkan seharian juga menggunakan bahasa Indonesia untuk menulis, misalnya menulis artikel di media atau menulis puisi dan sebagainya. Bahasa Indonesia adalah bahasa Ibu yang seharusnya memang sudah dikuasai dengan baik, tidak perlu dites atau diuji lagi seperti dalam pelajaran bahasa Indonesia di sekolah. Namun, seperti yang kita dapatkan di sekolah, kita diajarkan lagi bahasa Indonesia dan juga setelah itu juga diuji atau dites kemampuan dan kemahiran kita dalam bahasa Indonesia. Pertanyaannya, mengapa tes mata pelajaran bahasa Indonesia itu perlu diajarkan dan mengapa pula harus dites lagi kemampuan dan kemahiran berbahasa Indonesia tersebut?
Kalau di sekolah, kita belajar bahasa Indonesia dan kemudian dites atau divealuasi, karena itu adalah pelajaran wajib. Tetapi, bagaimana kalau kita yang berada di luar itu? Artinya, kita tidak sedang mengambil mata pelajaran atau mata kuliah bahasa Indonesia, tetapi diminta atau diundang untuk ikut tes atau uji kemahiran bahasa Indonesia, seperti yang penulis peroleh pada hari Kamis lalu?
ya, pagi Kamis, tanggal 7 November 2019, penulis bergegas membangunkan kedua anak, Ananda Nayla dan Aqila untuk salat subuh dan mandi serta mandi, lalu sarapan pagi, agar mereka bisa lebih cepat diantar ke sekolah. Kedua anak tersebut bersekolah di kawasan Ule Kareng yang tidak jauh dari tempat tinggal kami di POTRET Gallery yang beralamat di jalan Prof. Ali Hasyimi, Pango Raya, Banda Aceh. Tidak membutuhkan waktu yang lama, hanya sekitar 5 atau 6 menit dengan mengendarai mobil atau sepeda motor. Kebetulan, pagi ini hanya Ananda Nayla yang diantar ke sekolahnya di MIN 5 Banda Aceh di Ule Kareng. Sementara Aqila Azalea Tabrani Yunis yang masih belajar di kelas II SDIC Anak Bangsa di Ie Masen Ule Kareng tidak bisa ke sekolah karena kurang sehat. Artinya aku bisa memenuhi undangan mengikuti kegiatan Pelaksanaan Uji Coba Soal, Uji Kemahiran Berhasa Indonesia ( UKBI) di hotel Grand Permata Hati, Aceh. Letaknya juga tidak jauh dari POTRET Gallery. Hanya sekitar 1 kilometer dan bisa ditempuh dengan berjalan kaki. Namun, karena aku dikaruniai oleh Allah dengan alat transportasi, mobil POTRET, penulis menggunakan mobil ke hotel yang berada tepat di samping kantor Serambi Indonesia, sebuah koran lokal yang menjadi rujukan masyarakat selama ini.
Tiba di hotel 15 menit sebelum waktu yang dijadwalkan dan langsung menuju receptionist desk untuk mendapatkan informasi ruangan yang digunakan untuk acara tersebut. Ternyata acara yang diselenggarakan oleh Badan Pengembangan Bahasa dan Perbukuan, Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan, Provinsi Aceh itu di lantai 4. Artinya harus segera mencari lift untuk ke ruang kegiatan. Hotel yang letaknya di sebelah belakang Serambi Indonesia itu memiliki lift untuk memudahkan para tamu bisa naik dan turun dengan mudah dan cepat.
Setiba di lantai 4, penulis segera mencari ruang dan menemukan sebuah ruangan yang sudah ditempati panitia. Baru ada beberapa orang yang sudah menempati tempat duduk yang tersedia. Sementara pantia meminta yang baru datang untuk mendaftar dengan mengisi atau menulis nama di daftar hadir. Belum begitu ramai yang datang, karena meja dan kursi yang disediakan belum semua terisi. Namun beberapa menit kemudian, peserta lain sudah berdatangan dan menempati posisi masing-masing.
Tepat pukul 09.00 WIB, Moly, sang duta bahasa mulai maju ke depan, sebagai pembawa acara. Acara yang dimulai dengan pembacaan ayat suci Al-Quran dan dilanjutkan dengan menyanyikan lagi Indonesia raya, dan kata pengantar dari Ibu Atiqah Solehah Kasubbid Pengembangan dan perlidungan bahasa dan sastra, Pusat Bahasa Pengembangan dan Perlindungan Bahasa dan Perbukuan, Kementerian Pendidikan dan kebudayaan di Jakarta. Menurut Bu Atiqah, ini merupakan kegiatan rutin yang dilakukan oleh Pusat pengembangan dan perlindungan dengan bekerja sama dengan Balai bahasa di seluruh Indonesia. Ya, mungkin penulis saja yang baru kali ini ikut.
Usai pengantar dari bu Atiqah, lalu dilanjutkan dengan acara pembukaan secara resmi oleh Kepala Balai Bahasa Aceh, Muhammad Muis. Dalam kata sambutannya yang singat itu, mengingatkan peserta akan penting membaca sebagai bagian dari kegiatan literasi dan khusus bagi umat Islam, Allah telah menyampaikan kepada umat Islam agar iqra. Umat Islam adalah umat yang istimewa mendapat perintah dari Allah untuk membaca. Jadi, kata beliau, kalau umat Islam tidak pintar atau cerdas alias bodoh, itu adalah hal yang sangat memalukan. Oleh sebab itu, kemampuan literasi masyarakat harus terus ditingkatkan, temasuk kemampuan membaca dan menulis.
Apa yang disampaikan oleh kepala Balai bahasa tersebut, cukup menarik bagi penulis untuk diulas. Ya, pernyataan itu membuat penulis terangsang dan merasa gatal tangan untuk mencoba menelaah dan mengulasnya lewat tulisan ini, walau masih sekadar kajian yang dangkal. Sesungguhnya memang tak terbantahkan. Membaca adalah sebuah keniscayaan, sebagai salah satu dari ketrampilan berbahasa yang membuka jendela cakrawala pengetahuan dan sebagainya. Sayangnya, umat Islam saat ini, apalagi kaum milenial yang hidup di era digital, era revolusi industry 4.0 ini, semakin malas membaca, semakin kurang bacaan mereka, semakin banyak yang mereka tidak ketahui, kecuali gadget. Itu pun hanya sebagai pemakai atau user yang merupakan objek atau sasaran penjualan produk atau hasil rekayasa teknologi informasi dan komunikasi. Padahal, dengan adanya gadget saat ini, sumber informasi, sumber bacaan semakin melimpah ruah dan dengan sangat mudah diakses. Lalu, ketika minat membaca semakin rendah dan kemampuan mencerna bacaan juga semakin lemah, akibatnya generasi milenial di masa depan hanya sebagai bagian dari revolusi yang posisinya, akan lebih banyak sebagai user. Kondisi ini, akan memperburuk pula kemampuan berbahasa Indonesia para milenial ke depan
Oleh sebab itu, kegiatan uji kemahiran berbahasa Indonesia yang dilakukan terhadap lebih kurang 25 peserta yang berasal dari berbagai kalangan, seperti mahasiswa, guru dan dosen, serta redaktur majalah atau media cetak, menjadi penting dan menarik. Dikatakan demikian, karena bisa jadi kebanyakan orang akan berkata, “ untuk apa kemahiran berbahasa Indonesia kita diuji lagi, sementara kita selama ini memang sudah bergelut seharian dengan bahasa Indonesia. Namun, ketika mengikuti kegiatan uji kemahiran berbahasa Indonesia tersebut, ada sisi-sisi menarik dan penting yang harus diketahui oleh para peserta.
Bagi penulis sendiri, dari kegiatan uji coba tersebut memberikan banyak pelajaran, di antaranya sebagai berikut. Pertama, uji kemahiran berbahasa Indonesia dalam hal ini ada dua kemampuan atau ketrampilan berbahasa yang diuji, yakni menulis dan berbicara. Tes atau ujian tersebut, bisa menjadi sebuah cermin tau melakukan refleksi terhadap kemampuan, sikap dan perilaku kita terhadap kemahiran kita dalam berbahas Indonesia. Kedua, uji kemahiran berbahasa Indonesia yang dilakukan dalam kegiatan ini, membangkitkan kesadaran para peserta untuk dengan secara sadar dituntut untuk bisa menggunakan bahasa Indonesia dengan baik dan benar. Mungkin saja selama ini, kita beranggapan bahwa kita sudah baik dan benar. Ketiga, ijian itu juga menjadi media penyegaran bagi para pengelola media yang setiap saat bergelut dengan tulisan. Keempat, para peserta kegiatan ini menjadi mengerti dengan apa yang dilakukan oleh tim uji kemahiran berbahasa Indonesia.
Tentu masih banyak lagi pelajaran yang bisa dipetik dari kegiatan uji kemahiran berbahasa Indonesia ( UKBI) tersebut. Misalnya terkait dengan metodologi, teknik dan strategi ujian yang dibuat sedemikian rupa yang dapat menginspirasi kita ketika dites. Karena, bila kita mengikuti proses yang berlangsung dari kegiatan ujian kemahiran berbahasa Indonesia itu, paling kurang kita menemukan contoh ujian yang sebenarnya, tidak perlu dikawal. Di samping itu, ujian tersebut menyadarkan kita bahwa, banyak kemungkinan kesalahan umum yang kita lakukan dalam kegiatan berhasa Indonesia, seperti kalimat-kalimat yang kita gunakan tidak efektif dan bertele-tele. Kadang satu paragraph, isinya satu kalimat yang panjang, yang titik, koma dan tanda bacanya tidak jelas. Juga sering kesalahan dalam penggunaan kata depan dan awalan. Pokoknya, kesalahan-kesalahan itu adalah hal yang sudah tidak kita peduli.
Ternyata, ujian kemahiran berbahasa Indonesia pada hari itu cukup menarik, karena membuat para peserta mendapat tantangan menulis dengan tiba-tiba dalam waktu yang hanya diberikan selama 30 menit. Jadi bisa dibayangkan bagaimana seseorang yang selama ini jarang menulis, tiba-tiba diminta menulis dalam waktu yang singkat? Bukankah itu membuat seseorang kelabakan? Ya, begitulah adanya. Namun, ujian itu adalah sebuah tantangan yang menarik. Selain ujian menulis yang menantang, kemampuan berbicara, atau kemahiran berbicara juga menjadi sangat menarik. Setiap peserta tampak menikmati ujian tersebut, sebagai ajang untuk menguji selancar dan semahir apa mereka bisa berbicara. Jadi, memang sangat menarik dan penting. Apalagi, setelah ujian untuk kedua ketrampilan berbahasa Indonesia itu selesai, ada tiga presentasi yang memperkaya pengetahuan para peserta. Bu Aqiah yang menguraikan tentang UKBI, lalu dilanjutkan oleh kepala Balai bahasa Aceh, Mugammad Muis yang mempresentasikan tentang pentingnya berbahasa Indonesia dan visi penggunanaan bahasa Indonesia di masa depan, serta persentasi mengenai Kemahiran menulis dan Berbicara oleh Bu Triwulandari yang memberikan penjelasan dan pemahaman soal empat ketrampilan berbahasa Indonesia yang wajib dikuasai oleh masyarakat. Misalnya, soal kemahiran berbahasa reseptif yakni mendengar, membaca,kemahiran reproduktif yakni menulis dan berbicara, serta persoalan perbedaanBahasa tulis dan bahasa lisan dan lain-lain, seperti Ortografi, Kompleksitas,Formalitas,Kosa kata, Paragraf dan lain-lain. Dengan demikian, alangkah baik dan tepat bila kita mau uji kemahiran berbahasa Indonesia, yang bukan hanya pada menulis dan berbicara, tetapi juga dua yang lainnya.
Komentar
Posting Komentar