Oleh Nurbaiti
Aku adalah adik bungsu yang yang diasuh seperti anak sendiri oleh Kak May. Marziah namanya, namun kami memanggilnya kak May. Dia seorang perempuan sederhana, bertubuh kurus dan tinggi. Kak May adalah pengganti ibu setelah ibu kami meningsgal dunia. Dia menjaga dan merawatku ketika aku sakit, dia menyiapkan aku makan, dia selalu tidur dyngan ku, sehingga satu malam pun aku tidak bisa tidur tanpa dia. Kak May sannat menyayangiku, begitu pula sebaliknya aku sangat menyayanginya. Jauh dari kak May bagai mimpi buruk bagi aku, karena tidak ada satu orangpun yang akan sabar menghadapi seorang adik yang rewel dan egois seperti aku.
Beranjak kelas 1 SD, Kak May berencana untuk bekerja dan menitipkan aku ke rumah nenek. “Dik, tinggallah disins, kakak akan pergi sebentar saja dan nanti sore kakak akan segera kembali”. Begitulah kata kakak kesayanganku itu. Sesaat aku lupa bahwa aku sudah ditinggal olehnya, namun melewati waktu seharian itu sangat sulit bagiku hingga sore harinya aku terus menunggu Kak May pulang, aku duduk di pintu rumah nenek dengan air mata yang berlinang-linang. Aku tersadar hari itu Kak May tidak pulang dan aku telah tertipu olehnya. Aku begitu sedih dan kecewa. Beberapa hari berikutnya Kak May kembali pulang ke rumah nenek untuk menjengukku. Perasaan rindu dan marah kulampiaskan kepada kakakku yang telah meninggalkan aku kemarin hari.
Keesokan harinya Kak May hendak pergi ke tempat kerja lagi dan akan meninggalkan aku di rumah nenek seperti hari itu, namun aku tidak mau tertipu lagi dengan rencana mereka. Ketika kakakku mau berankt kerja, aku meminta ikut untuk mengantarnya ke jalan raya. Tak lama kami menunggu, Kak May pun dijemput oleh angkutan mum. Dia bergegas menaiki angkutan tersebut agar aku tidak sempat mengikuti dirinya. Sedangkan aku menarik kain bajunya serta cepat-cepat menaiki angkutan itu pula. Sementara nenek berdiri di belakangku segera menghalau aku untuk masuk dalam angkutan. Nenek menarik tanganku agar segera turun angkutan. Tak ada cara lain yang aku fikirkan waktu itu untuk melepaskan tangan nenek yang menggenggam lenganku. Akupun menggigit tangan nenekku. Tak tega melihat aku menangis dan meminta ikut bersamanya, Kak May meminta nenek melepaskan genggaman lenganku. Akhirnya aku bersama Kak May, dia mengecup keningku sambil memeluk erat tubuhku, karena dia tahu bahwa aku tidak ingin jauh darinya.
Beberapa waktu aku kembali berkumpul di rumah sendiri bersama Kak May dan kakak-kakak aku yang lainnya. Melewati waktu itu, aku begitu bahagia aku sangat menikmati waktu sekolahku dan waktu yang dihabiskan bersama teman-teman baikku. Namun sayang waktu itu begitu singkat untuk terus bersama kåkåk May. Kali ini aku harus mengerti bahwa kak May harus bekerja untuk membiayai hidup aku. Akhirnya aku rela ditinggal jauh oleh Kak May dan mungkin satu bulan sekali akan pulang menjengukku.
Satu pekan waktu telah berlalu, Kak May kembali pulang ke rumah. Itu pun hanya sebentar untuk menemuiku. Aku sedang bermain petak umpet di depan halaman masjid. Kak May memanggil aku dan berjalan mendekati aku. Dia mengambil sesuatu dari falam tasnya. Aku melihat dia memegang kalung emas. Kalung tersebut dipasangkan di leherku sambil berkata “dik jagalah diri baik-baik selama bermain bersama teman-teman, kakak akan kembali lagi ke tempat kerja”. Kak May mengecup keningku, aku melihat dua bola matanya yang berkaca kaca seperti ingin menangis. Tidak pernah terpikir ternyata moment ini adalah perjumpaan terakhir aku dengannya.
Satu pekan berikutnya di hari Minggu, tepatnya di tanggal 26 Desember 2004 telah terjadinya tsunami. Tsunami yang dahsyat itu melahap semua yang ada di dépannya. Hanya tersisa puing-puing reruntuhan rumah bercampur lumpur hitam berbau amis. Beribu jiwa hilang d mari itu, diantaranya ialah tak perlu aku sebutkan lagi orangnya. Setelah hari itu aku sangat berharap sesosok perempuan itu kembalt. Aku terus menunggu kak May pulang dengan selamat. Sembari menunggu kak May pulang, aku telah persiapkan baju dan selimut untuknya. Setiap hari aku menanyakan kabar Kak May kepada saudaraku, apakah dia akan pulang, namun mereka hanya terdiam. Keesokan harinya aku menanyakan lagi kapan kak may akan pulling. Saudara akupun duduk lemas di depanku dengan menguatkan diri akhirnya dia mengeluarkan kata-kata itu “kak May sudah tidak ada lagi dik”.
Tak dapat berbuat apa-apa aku hanya menangis membayangkan entah siapa yang akan menyayangi aku lagi tanpa seorang kak May. Hari ini 15 tahun perpisahan aku dengan kak May, bukan satu malam yang aku takuti waktu itu. Aku menulis sepucuk surat untukmu kak, lihatlah adikmu sekarang telah besar dan dewasa. Banyak hari kulalui tanpamu. Aku sangat merindukanmu Kak. Hari itu aku tidak mau tinggal bersama nenek, tapi hari ini aku telah besar berkat orang kepercayaan kakak yaitu nenek. Terimakasih telah menyayangi aku segenap jiwamu. Semoga dirimu telah damai di sisi Allah. Alfatihah... Untuk kak Marziah.
Komentar
Posting Komentar