Oleh Tabrani Yunis
Tong sampah, tempat atau wadah untuk menampung sampah. Ya, tentu saja fungsinya sebagai tempat atau wadah menampung sampah-sampah atau barang-barang bekas yang sudah tidak kita perlukan atau tidak kita gunakan alias tidak kita pakai lagi. Selain tong sampah, ada pula yang menyebutnya dengan kerjanjang sampah. Disebut keranjang sampah, karena wadahnya berupa keranjang. Ada yang berbahan plastik, ada pula berbahan lain seperti rotan atau lainnya. Karena ada juga keranjang yang terbuat dari bahan besi kawat kecil. Namun, fungsinya tetap sama, sebagai wadah menampung sampah.
Kalau di luar negeri, di kalangan negara-negara yang berbahasa Inggris, tong sampah alias keranjang sampah, yang ukuran kecil-kecil itu sering disebut dengan garbages bins.Juga ada yang disebut dengan trash can. Di negara-negara lain yang punya dan menggunakan bahasa lain, pasti sebutannya akan lain lagi. Yang penting, benda atau wadah penampungan sampah tersebut ada di mana-mana. Biasanya, semakin tinggi budaya suatu bangsa, maka semakin bagus dan tertata tempat sampah dan tata kelola sampah mereka. Semakin rendah budaya dan perkembangan sebuah negara, sebuah provinsi, sebuah Kabupaten/kota, maupun kecamatan dan desa, maka semakin amburadul cara pengelolaan sampah mereka. Pada tataran pribadi pun demikian, semakin tinggi budaya dan keimanan seseorang atau sebuah keluarga, maka akan semakin disiplin dan beradab pribadi atau keluarga itu. Sebaliknya, semakin tidak berpendidikan seseorang dan semakin tidak berbudaya seseranf, maka semakin rendah kesadaran dan peradabannya dalam mengelola sampah di rumah dan di dalam masyarakat.
Seperti kita ketahui bahwa tong sampah atau keranjang sampah yang juga disebut dengan garbage binsatau trash canitu bisa ditempatkan di rumah-rumah, di kantor-kantor juga di tempat-tempat umum, seperti di pinggir jalan atau di tempat keramaian dan segalanya. Bahkan lebih ke dalam lagi, ada di ruang atau di kamar masing-masing. Bedanya ada pada bentuk dan ukuran. Biasanya yang di ruangan atau kamar, ukuran dan betuknya relatif kecil dan tertutup. Begitu pula seharusnya yang ada di rumah-rumah. Karena kalau tidak bertutup, bisa berakibat pada hal lain lagi.
Kalau di negara-negara yang sudah berperadaban tinggi, seperti di negara tetangga kita, Singapore maupun Malaysia, mereka sudah Sangat berbudaya dalam mengelola sampah. Bila suatu saat kita berpergian atau melancong ke Malaysia atau Singapore, kita akan melihat bagaimana disiplinnya masyarakat dan pemerintah di negara tersebut dalam mengelola sampah. Hebatnya lagi, di negara mereka tidak akan pernah kita saksikan ada tumpukan-tumpukan sampah atau bungkusan-bungkusan plastik berisi sampah yang dititipkan di pinggir-pinggir jalan seperti di kota kita yang setiap hari, setiap pagi kita melihat banyak tumpukan sampah dan bungkusan sampah yang dititip masyarakat di pinggir atau di trotoar jalan raya dan jalan-jalan di kampung atau desa. Sering kali sampah-sampah yang isinya segala macam kotoran itu mengeluarkan aroma tak sedap.Juga sering beserakan karena dibawa anjing atau diretas kucing yang kelaparan. Kasihan juga kita melihat nasib petugas kebersihan yang tingkat kesejahteraan mereka rendah itu harus berkotor-kotor dengan sampah yang dikumpulkan mereka. Padahal kalau mereka sakit karena terjangkit penyakit dari sampah itu, mereka akan tidak mampu berobat dari penghasilan sebagai tukang atau petugas kebersihan itu. Begitu teganya kita terhadap mereka. Padahal, pemerintah dan kita sebagai masyarakat bisa membantu tukang sampah alias petugas kebersihan itu dengan cara kita mengemas sampah dengan baik dan menempatkan sampah tersebut di tempat yang seharusnya.
Sama seperti kita sedang berada di Negara lain. Ya, ketika kita berada di luar negeri seperti di Malaysia atau Singapore dan di negara-negara lain di dunia, siapa pun kita, pasti kita akan sangat hati-hati membuang sampah. Bahkan merokok pun kita hati-hati, serta taat terhadap aturan di negara tersebut. Kita takut pada hukuman yang akan dijatuhkan kepada kita karena membuang sampah sembarangan atau karena merokok sembarangan. Para perokok malah bisa berpuasa dari merokok di negara tersebut. Kalau di tempat atau negara sendiri katanya tidak bisa berhenti merokok. Kita akan sadar dan bergerak mencari tong sampah atau bak sampah atau keranjang sampah dan meletakakannya dengan baik, karena kita takut terkena sangsi atau hukuman bila tidak menempatkan sampah pada tempatnya. Sementara di tempat kita sendiri, kita suka sembarangan saja. Bahkan orang-orang yang kelas borjuis maupun kalangan orang hebat dan kaya, punya mobil mewah, perilaku mereka juga sangat rendah. Bukan hal yang aneh kalau kita melihat banyak yang masih berperilaku kuno, membuang sampah dari mobil ke jalan atau ke sungai. Mengapa begini? Mungkin karena mereka tidak berbudaya dan tidak tahu adab dalam mengelola sampah. Buktinya tidak ada rasa malu ketika ada orang yang meneriakan dengan kata-kata yang menghardik orang yang membuang sampah lewat jendela kaca mobil. Lagi pula tidak ada petugas yang bakal menangkap atau memberi sangsi. Jadi, mereka tanpa rasa malu pada diri sendiri, tanpa merasa bersalah, akan terus membuang sampah sembarangan.
Kesadaran kita mengelola sampah dengan baik dan benar memang sangat rendah. Mungkin tidak salah bila kita sebut berada di titik nadir. Bukan hanya kesadaran di kalangan masyarakat yang kurang atau tidak berpendidikan, tetapi juga di kalangan orang-orang hebat seringkat pejabat, baik yang di eksekutif maupun di legislatif. Tidak percaya? Coba saja ikuti dan amati mereka. Perilaku buruk mereka akan dengan mudah kita temukan.
Nah, kembali ke masalah tong sampah, keranjang sampah, bak sampah atau garbage bin dan trash can, ada yang aneh kita temukan di kalangan pejabat kita. Keanehan itu, selain seperti kita ceritakan di atas, para pejabat dari kalangan eksekutif dan legislatif kita setiap tahun pergi pelesiran atau sering kita sebut dengan study banding ke luar negeri. Mereka belajar dan mengamati serta mencari ilmu tentang tata kelola sampah, mereka mengikuti aturan yang berlaku si negara-negara yang mereka kunjungi, tetapi kembali ke tanah air, wajah dan perilaku buruk mereka kembali sama, kembali ke habitat yang tidak berbudaya. Tidak ada perubahan yang awalnya ingin dilakukan, untuk diterapkan di tanah air. Semuanya lupa, kecuali cerita-cerita yang menakjubkan di tempat-tempat belanja dan pusat-pusat hiburan.
Sebenarnya, mereka banyak yang takjub dan bahkan dengan sedikit tersipu berkata, “ah,kita juga bisa buat seperti ini”. Ini kan gampang. Kita bisa fasilitasi masyarakat kita dengan tong-tong sampah seperti ini. Kita juga bisa seperti di negara-negara lain yang menerapkan sistem penampungan sampah yang memisah-misahkan sampah kering, basah, kertas dan plastik. Sehingga tidak bercampur aduk yang basah dengan kering, yang plastik dengan kertas dan sebagainya. Lalu, kemudian apa buah dari kunjungan ke luar negeri yang menguras banyak uang negara itu? Kita hanya bisa bertanya saja.
Sejujurnya kita akui bahwa kalau para pejabat kita di kota kita, seperti level Walikota atau bahkan Gunbernur kita yang punya banyak uang dari berbagai sumber, bila mau dan sungguh-sungguh, tata kelola yang dilihat dan dipelajari di negara-negara lain itu bisa dilakukan. Pemerintah kota dankabupaten bisa menyediakan banyak sarana penampungan sampah yang bagus dan representative. Bisa memisah-misahkan antara sampah plastic dengan kertas, atau yang lainnya. Sayangnya, hal ini tidak dilakukan. Kalau pun disediakan hanya keranjang sampah yang tidak enak dipandang mata. Kalau pun ada garbage bins, hanya pada tempat tertentu dengan ukuran kecil-kecil dan tidak memadai. Wajar saja kalau ada tong sampah yang baru dipasang atau ditempatkan dengan ukuran kecil-kecil itu kemudian dibongkar dan diletakan di trotoar, sehingga terlihat aneh.
Tambah lagi, secara fakta pemerintah kota dan kabupaten tidak melakukan edukasi terhadap masyarakat dalam hal pengelolaan sampah. Walau kita ketahui bahwa Walikota dan Bupati selama ini berjuang untuk mengejar gelar dan piala adipura. Bukan hanya itu, banyak kota dan dan daerah yang menambalkan nama kota dengan berbagai sebutan, misalnya kota madani, kota bersyariat dan sebagainya. Kelihatan begitu taat agama. Alasannya, tentu karena umumnya beragama Islam. Islam mengajarkan semua adab dalam kehidupan, termasuk adab hidup bersih, tetapi anehnya, pola hiup bersih itu pula yang diabadikan. Ya, agama Islam sudah mengajarkan kita akan kebersihan yang merupakan bagian dari iman. Namun, mengapa budaya tertib mengelola sampah itu tidak terlihat baik? Padahal, di negara-negara non muslim yang tidak menyebutkan kebersihan itu bagian dari iman saja bisa hidup bersih dan bisa menata kelola sampah dengan baik dan benar. Mengapa kita tidak? Mari kita berfikir dan bangun dari tidur panjang.
Komentar
Posting Komentar