dok. Tagar.id
Oleh Tabrani Yunis
Akhir-akhir ini, semakin sering kita membaca berita atau tulisan bernada miris mengenai dunia pendidikan kita di Indonesia dan di Aceh khususnya. Sering dan banyaknya cerita miris tersebut di media tentang lembaga pendidikan di tanah rencong, sejalan dengan semakin banyaknya orang yang menyebarkan informasi mengenai suatu fenomena atau realitas lewat perangkat digital, lewat media online yang begitu cepat serta lewat media cetak. Sehingga dengan mudah kita mengakses berita atau tulisan mengenai dunia pendidikan kita dalam berbagai dimensi.
Ya pokoknya, ada banyak cerita yang kita bisa baca. Salah satu berita paling akhir di bulan Januari 2020 mengenai kondisi miris di dunia pendidikan di Aceh adalah soal murid SD Negeri Suka Makmur, Singkil yang harus belajar di lantai, karena sekolah rusak berat. Para murid harus belajar setengah menungging, agar bisa menulis. Namun, dengkul tidak menyentuh lantai, lantaran lantai kasar. Miris bukan? Ya, tentu saja miris, karena di tengah banyaknya dana pendidikan yang juga ditambah dengan dana Otsus, kondisi miris dan memilukan dan memalukan itu masih sering kita jumpai di negeri Iskandar Muda ini. Itu adalah salah satu berita yang disiarkan oleh Serambinews.com pada tanggal 4 Januari 2020 lalu.
Kondisi miris dan memalukan itu, tentu bukan hanya itu, masih banyak berita miris lain yang juga bisa kita simak. Misalnya, apa yang terjadi di SD Negeri 6 Pirak Timu, Aceh Utara KOMPAS.com edisi 7/8/19 memaparkan bahwa - SD Negeri 6 Pirak Timu tidak memiliki kursi dan meja belajar. Hal itu membuat proses belajar mengajar di SD yang berada di Desa Meunye VII ini dilakukan di lantai. Sayangnya lagi, kondisi itu sudah berlangsung selama tiga tahun. “Setiap murid yang ingin masuk lokal harus membuka sepatunya supaya lantai tidak kotor. Karena lantai ruangan tersebut dimanfaatkan sebagai tempat belajar murid, akibat belum ada kursi dan meja belajar,” ujar Kepala SDN 6Pirak Timu, M Samin kepada Serambinews.com, Rabu (7/8/201). Cukup memalukan bukan?
Nah, malu atau tidak, tergantung apakah pemimpin negeri ini, di semua level masih ada urat malu atau malah sebaliknya memang sudah tidak punya urat malu lagi, sehingga kondisi miris seperti ini terkesan dibiarkan begitu saja. Harusnya, memang masih ada rasa malu tersebut. Dikatakan demikian, karena Aceh, khususnya memiliki dana pendidikan yang cukup besar, ditambah dengan adanya dana otsus dan bahkan memiliki dana abadi yang kini masih misterius itu.
Maka, ketika membaca berita-berita miris seperti di atas, lalu dikaitkan dengan kemampuan keuangan (anggaran pendidikan) daerah yang tersedia yang bersumber dari APBA sebesar Rp 3,242 triliun, ditambah dari dana Otsus yang diterima Aceh sebesar Rp 8,374 triliun, yang dari jumlah tersebut juga ada anggaran untuk pendidikan serta sebagaimana diketahui saja bahwa Aceh memiliki simpanan dana abadi yang tidak kita ketahui jumlahnya dan keberadaannya itu. Jadi, wajar bila banyak orang yang bertanya, mengapa masih begitu banyak berita miris mengenai buruknya fasilitas sekolah atau lembaga pendidikan di daerah ini? Mengapa pula kualitas pendidikan daerah ini (Aceh) masih tetap berocokol di papan bawah secara nasional?
Harusnya, pemerintah daerah malu ketika kondisi dunia pendidikan Aceh masih compang-camping alias buruk, baik sarana maupun kualitas mutu pendidikan, kala jumlah uang yang dikelola begitu besar.
.
Ya, idealnya ketika dana pendidikan di suatu daerah, seperti halnya di Aceh saat ini, kualitas pendidikan Aceh harus meningkat dan berada pada peringkat yang lebih baik, paling tidak pada posisi 10 besar, apabila tidak bisa masuk ke lima besar. Fasiltas-fasilitas pendidikan pun harusnya bisa lebih baik atau lebih hebat dibandingkan daerah lain yang tidak mendapat kucuran dana otonomi khusus, seperti Aceh. Namun apa yang terjadi?
Ternyata, hingga hari ini fakta-fakta miris tetap saja menyelimuti dunia pendidikan di Aceh. Kita masih banyak membaca tentang sekolah-sekolah yang miskin fasilitas, sekolah-sekolah yang tidak layak dan sejenisnya. Aneh bukan? Ya, tentu saja aneh, bahkan bisa jadi dianggap tidak masuk akal, terutama bagi kalangan yang masih memiliki akal sehat. Banyaknya sekolah yang kekurangan fasilitas belajar, seperti tidak memiliki bangku, atau ruang kelas yang rusak dan sebagainya, tidak boleh ada lagi, karena banyaknya dana pendidikan yang bersumber dari APBN dan dana Otsus. Ditambah lagi dana abadi yang tidak tahu rimbanya itu. Jadi memang sangat ironis.
Lebih ironis lagi, ketika fakta-fakta tentang kualitas pendidikan Aceh di segala lini masih rendah dan sangat miris. Bayangkan saja, Aceh yang banjir dana pendidikan tersebut hingga kini masih berhadapan dengan kualitas pendidikan yang kalah dibandaingkan dengan daerah lain yang memiliki sumber dana kecil. Justru dalam hal kualitas, Pendidikan di Aceh dinyatakan masih tertinggal. Tahun 2019, di harian Serambi Indonesia, edisi Selasa 29 Oktober 2019 lalu, Kepala Kantor wilayah Kementerian Agama ( Kakanwil Kemenag) Aceh, Drs. H.M. Daud Pakeh mengklaim bahwa mutu pendidikan di Aceh saat ini masih memprihatinkan, karena berada pada peringkat ke 27 dari 34 provinsi se Indonesia. Peringkat yang tidak layak disandang oleh daerah yang memiliki dana pendidikan yang cukup tinggi, setelah Jakarta.
Nah, ketika dikatakan bahwa peringkat pendidikan Aceh kini naik ke peringkat ke 27, maka selayaknya kita bertanya, level pendidikan atau jenjang pendidikan apa yang kini bertengger di posisi 27 tersebut? Apakah itu bisa diklaim bahwa itu adalah peringkat kualitas pendidikan Aceh?. Apakah posisi ke 27 tersebut merepresentasikan kualitas pendidikan Aceh secara umum, ataukah peringkat yang diperoleh oleh SMK?
Pertanyaan ini juga masih perlu dijawab dan mendapat konfirmasi dari pihak penyelenggara pendidikan, terutama Dinas Pendidikan Aceh. Haruslah dengan jujur mengumumkan kepada publik tentang peringkat pendidikan Aceh yang disebutkan naik ke peringkat ke 27 secara nasional tersebut. Apakah peringkat 27 bagi pendidikan Aceh tersebut, peringkat secara umum? Apakah itu peringakat sekolah dasar? Apakah sekolah menengah pertama atau menengah atas, atau pun sekolah menengah kejuruan? Pertanyaan-pertanyaan ini perlu dijawab, agar kita bisa jelas melihat dan membaca peringkat Aceh secara nasional dengan indicator dan tingkat pendidikan yang jells.
Selain persoalan fasilitas pendidikan dan kualitas lulusan lembaga-lembaga pendidikan Aceh yang rendah, dunia pendidikan Aceh juga masih dibayang-bayangi dengan masalah kualitas guru yang secara umum masih rendah. Pasalnya, persoalan kualitas guru yang diukur dengan hasil ujian yang bernama UKG juga sebuah masih menjadi pil pahit bagi dunia pendidikan Aceh. Bayangkan saja, hasil UKG guru-guru di Aceh menunjukan kondisi yang memprihatinkan kita, karena juga berada pada posisi yang tidak menguntungkan. Padahal, sebagaimana kita ketahui dana yang gelelontorkan oleh pemerintah, terutama pemerintah daerah untuk kegiatan peningkatan kualitas guru lewat kegiatan pelatihan atau penataran sangat besar. Namun, mengapa kualitas guru masih di Aceh masih merangkak?
Jadi, begitu banyak pertanyaan yang mesti dijawab oleh pemerintah daerah dan dinas-dinas terkait, yakni Dinas Pendidikan, kemenag dan bahkan badan dayah atau pesantren di Aceh. Banyaknya pertanyaan yang muncul di tengah-tengah masyarakat kita, menjadi indikator bahwa pengelolaan dana pendidikan di daerah ini banyak yang tidak beres. Ternyata, banyak dan besarnya dana pendidikan yang dikelola, tidak menjamin kualitas pendidikan Aceh menjadi lebih baik. Mengapa demikian?
Tentu karut marutnya dunia pendidikan di Aceh disebabkan oleh banyak factor dan variable yang membuat potret pendidikan di Aceh menjadi begitu buruk dan terpuruk. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut. Pertama niat atau political willpara penguasa di daerah ini untuk bidang pendidikan belum lurus. Tidak dengan jujur dan sungguh-sungguh membangun pendidikan yang berkualitas dan berintegritas. Sehingga, dunia pendidikan dibangun dengan orientasi keuntungan materi para pengelola pendidikan. Kita bisa amati dan telusuri tata kelola keuangan di instansi terkait dan sekolah-sekolah selama ini. Sering anggaran belanja sekolah tidak sejalan dengan upaya perbaikan kualitas. Kedua, dunia pendidikan, termasuk di Aceh selama ini semakin terseret oleh kepentingan politik. Terseretnya pendidikan ke pusaran politik penguasa, membuat instansi pendidikan, dalam hal ini dinas pendidikan, harus mengikuti arus pilitik, bukan pada pencapaian visi pendidikan secara hakiki. Siapa yang sedang berkuasa atau memimpin daerah, maka arah kebijakan pendidikan mengikuti selera atau kepentingan penguasa. Ketiga, sebagai akibat dari derasnya tarikan kekuatan polotik tersebut, kepala Dinas Pendidikan bisa berotasi sesuai selera penguasa. Dalam satu periode pemerintahan bisa berganti dua atau tiga kali. Bukan hanya itu, walaupun secara factual kepala dinas diseleksi lewat system fit and proper test, seleksi itu tidak memberikan jawaban yang mencerahkan bagi perbaikan kualitas pendidikan Aceh. Akibatnya, prinsip the right man in the right place,bukan menjadi acuan. Malah sebalikya, bisa menjadi the wrong man in the right place. Ke empat, mentalitas pembangunan pendidikan di Aceh khususnya masih menganut mentalitas pembangunan tambal sulam dan tidak menjawab akar masalah. Yang ada hanyalah pemborosan sebagai akibat dari pelaksanaan kegiatan dan proyek pendidikan yang tidak berbasis pada kebutuhan dan masalah yang harus diselesaikan. Kelima, pendidikan Aceh tidak memiliki grand design yang bisa dijadikan pedoman untuk masa depan dan yang ke enum, tidak ada sinergisitas antara badan dan instansi pendidikan, seperti MPA, Dinas Pendidikan dan kemenag serta Badan dayah.
Ada banyak factor lain, yang bisa kita gali atas kegagalan pemerintah Aceh membangun pendidikan Aceh yang berkualitas dan memanusiakan. Namun, dalam artikel singkat ini, hanya beberapa factor saja yang bisa tergali. Dibutuhkan lebih banyak tindakan identifikasi masalah dan factor – factor penyebabnya.
Nah, dengan kondisi buruk semacam ini, seharusnya pemerintah Aceh bisa lebih bijak dan mau meluruskan kembali niat, meluruskan orientasi pendididikan. Pemerintah Aceh harus lebih jujur dan meletakan prioritas pembangunan pada posisi yang lebih netral, sehingga pejabat utama di Dinas pendidikan, tidak dipilih berdasarkan selera penguasa, tetapi dipilih dengan menilai tingkat perkembangan karir. Dengan cara ini, kepala Dinas Pendidikan atau dinas lainnya yang terkait dengan pendidikan, bisa melaksanakan program-program pendidikan yang lebih leluasa mengikuti perkembangan zaman dan kebutuhan masyarakat. Tentu banyak cara yang bisa dilakukan, namun yang penting adalah luruskan niat untuk membangun pendidikan Aceh secara benar dan bermartabat. Bukan berdasarkan kepentingan rezim yang sedang berkuasa. Insya Allah kita bisa. Yang penting mau.
Komentar
Posting Komentar