Oleh: Ahmad Rizali-NU Circle
Berdomisili di Depok
PYB itu adalah judul sebuah buku yang menurutku adalah sebuah magnum opus dari pemikir Yudi Latif (YL) yang sangat komprehensif menyusun mozaik landasan konsep Pendidikan di Indonesia dengan memutar ulang jejak sejarah yang melatarinya dan berupaya membawanya ke konteks kekinian. Sehingga terasa sangat pas jika subjudulnya adalah "Histori, Konsep dan Aktualisasi Pendidikan Transformatif". Kata transformasi saya yakin dipakai oleh YL untuk memperkuat gagasannya bahwa Pendidikan itu adalah sebuah proses dan dalam proses tidak ada yang "ujug ujug", pasti ada sebab awal.
Seringkali pembaca yang tak sabaran, sesudah mengamati sampul buku akan langsung menelaah daftar isi dan tanpa membaca pengantar dan pendahuluan langsung meloncat ke topik yang paling disukai dan dicari, tenggelam di sana. Ini kesalahan awal dalam membaca sebuah buku, apalagi buku berat sejenis PYB.
Pengantar dan Pendahuluan adalah ibarat ketika membaca peta adalah acuan dan asumsi-asumsi dasar yang wajib kita ketahui dan di sana juga ada batasan-batasan dari isi peta. Buku yang baikpun wajib memberi "disclaimer" kepada pembacanya semua "domain dan range" yang dibahas di sana agar pembaca tidak ngawur dan sesat. Pembaca yang ajaib sekualitas alm. GusDur, ketika membaca judulnya saja bisa jadi langsung bisa mengisahkan isi buku tersebut. Mengapa ? Karena bisa jadi Gusdur sudah membaca rujukan yang dibaca oleh pengarang dan dia rangkai sendiri.
Jika anda membaca PYB, jangan lewati bab pengantar dan pendahuluan, karena seorang pembaca yangg baik adalah seperti manusia beradab tinggi yang diundang makan. Ada Table Manner. Pengatar dan Pendahuluan itu adalah makanan pembuka dan obrolan pembuka pula. Janganlah seperti undangan "nggragas" yang langsung tancap gas ke "menu utama". Hidangan PYB tak akan memberi kenikmatan dan gizi serta relasi yang intim dengan penyedia hidangan.
So, siapkan diri menikmati hidangan PYB karya besar Master Chief Yudi Latif dan kunyah serta cerna baik baik.
Membaca buku ini saya mulai dari pengantar dan pendahuluan, kemudian langsung bagian ke tujuh (7) usulan Yudi Latif bagaimana mentransformasikan gagasan PYB dalam kebijakan pemerintah. Kemudian kulanjutkan dengan membaca semua catatan akhir dari setiap bagian. Selesai ? Jelas tidak. Karena saya bersikap pragmatis, kuatir tak cukup waktu mengkhatamkan buku setebal lebih 400 halaman ini. Sisa waktu 3 hari saya pakai membaca semua bagian.
Di bagian ke 2 "Akar akar Pendidikan di Indonesia" tulisan YL memukau saya. Dia mengajak pembaca menelusuri kapan pendidikan formal yang melahirkan konsep dan praktek pendidikan saat ini. Meski YL sukses menggali akarnya bermula dari kebijakan baru di Kerajaan Belanda dengan Politik Etisnya, namun saya masih bertanya betulkah saat itu umumnya rakyat Indonesia masih belum melek huruf latin?
Almarhum ibuku lahir pada pertengahan Tahun 1920an di Barito Kuala. Saat itu disebut Bakumpai Marabahan. Beliau di MI tak lulus, hanya diajari membaca dan menulis aksara Arab Pegon Bahasa Melayu. Beliau bisa membaca huruf alfabetik, diajari adik lelakinya yang 2-3 tahun lebih muda. Kakak iparnya, julak Bahrah, ibunda Prof. Hakimah Halim, GB Universitas Lambung Mangkurat, hanya bisa membaca huruf latin kapital.
Uraian YL membuatku berfikir, jika saat itu hanya bangsawan, priyayi tinggi, priyayi rendah dan pedagang kaya saja yang berkesempatan "sekolah", artinya Belanda memang membiarkan rakyat jelata mendidik diri sendiri mandiri dan tak heran muncul tokoh sekaliber Syech Arsyad Albanjari dan Syech Nawawi Al Bantani dan lain-lain, termasuk Ahmad Khatib, sang Mahaguru "Thio Sam Hong" tokoh sekaliber KH. Hasyim Asyari dan KH. Ahmad Dahlan.
Tak mengherankan pula ketika awal kemerdekaan, hanya Minang yang mampu "menyetor" tokoh ke tingkat nasional meningi Jawa, karena di akhir abad 19 sudah sangat banyak tokoh terdidik mandiri seperti Haji Rasul, ayah Buya HAMKA dan kakek Emil Salim (Emil ini juga alumni ELS, SD bergengsi jaman itu). Kebijakan Belanda membantu sekolah Kristen juga memicu cendekia di Sulawesi Utara, sehingga tak sedikit pula "founding fathers" kita berasal dari sini.
Taman Siswa (Tamsis) sebagai sekolah dengan Pendidikan Alternatif dan dianggap sebagai sekolah liar saat itu, memang dahsyat. Sosrokartono, manusia Indonesia bangsawan kakak RA. Kartini yang fasih bahasa dunia saat itu adalah Kasek Perguruan Tamsis di Bandung. Saya berdecak kagum. Jika Kaseknya sekaliber itu, pantas saja alumni Tamsis Jaman itu begitu hebat. Sayang YL tidak mengupas peran Engku Syafei di INS Kayu Tanam di bagian ini.
Jika ingin tahu mengapa sekolah kristen dan katolik peninggalan Belanda hingga saat ini termasuk bermutu tinggi dan ada pengelolaan pendidikan jalur Kemenag dan Kemdikbud, simaklah bagian ini. Tumbuh kembangnya Masdrasah di bawah Kemenag memang berbeda dengan model sekolah umum Kemdikbud. Di sinilah peran organisasi seperti Jamiat Khair, Muhammadiyah, NU berperan dan tidak bisa dinafikan. Jadi, ketersinggungan organisasi itu baru baru ini kepada pemerintah memang beralasan.
Bersambung
Komentar
Posting Komentar