Langsung ke konten utama

Burung Pipit dan Janji Awan

 

Ilustrasi dibantu AI


Oleh  Siti Hajrur Munawwarah


Di sebuah padang luas yang mulai kering karena musim kemarau, hiduplah seekor burung pipit kecil bernama Pita. Bulu Pita berwarna cokelat muda. Matanya bulat berkilau, tapi tubuhnya tampak lemah karena sudah lama sulit menemukan makanan. 


Rumput mulai layu, tanah pecah-pecah, dan biji-bijian yang biasanya berlimpah kini hampir tak ada lagi. Pita terbang rendah sambil menatap ke langit. “Oh, alangkah indahnya jika hujan turun. Aku dan semua teman-temanku pasti bisa hidup dengan tenang lagi,” keluhnya.


Hari itu, Pita terus mencari makanan. Ia bertemu dengan Kura-kura Tua yang sedang berjalan lambat di tepi sungai kering.

“Pita, kau tampak lesu sekali,” kata Kura-kura.

“Aku lapar, Kura-kura. Padang ini sudah gersang, aku hanya menemukan sedikit sekali biji-bijian,” jawab Pita dengan suara serak.


Kura-kura menatap ke langit. “Hujanlah yang bisa menolong kita. Tapi langit masih cerah. Cobalah kau bicara dengan Awan, siapa tahu ia mau menurunkan hujan lebih cepat.”


Pita terkejut. “Bicara dengan Awan? Apa Awan mau mendengarku?”

“Kalau kau sungguh-sungguh meminta dengan hati yang baik, mungkin ia mau. Tidak ada salahnya mencoba,” ujar Kura-kura sambil tersenyum bijak.


Maka Pita menguatkan sayapnya, terbang tinggi menembus angin hingga mendekati gumpalan awan putih yang bergelayut di langit biru.

“Halo, Awan!” seru Pita dengan lantang.


Awan bergemuruh pelan, lalu bersuara lembut, “Siapa yang memanggilku?”

“Aku, Pita si pipit kecil. Tolonglah, Awan. Tanah di bawah sana sangat kering. Rumput mati, sungai kering, dan kami semua kelaparan. Maukan kau menurunkan hujan untuk kami?” pinta Pita.


Awan terdiam sejenak. “Aku bisa menurunkan hujan, tapi aku juga punya syarat.”

“Apa itu?” tanya Pita cemas.

“Kau harus berjanji untuk berbagi biji dengan hewan-hewan lain. Jangan hanya menyimpannya untuk dirimu sendiri. Jika kau berjanji, aku akan menurunkan hujan,” kata Awan tegas.

Pita mengangguk cepat. “Aku berjanji, Awan. Aku akan berbagi pada semua sahabatku.”


Awan bergemuruh kembali. “Baiklah, aku percaya padamu, Pita. Pulanglah ke padang, sebentar lagi hujan akan turun.”

Dengan hati penuh harapan, Pita melayang turun kembali ke padang. Tak lama, langit berubah kelabu, angin berembus sejuk, dan butir-butir hujan mulai jatuh ke bumi.

“Air! Air! Hujan turun!” seru Pita girang. 


Semua hewan keluar dari persembunyian mereka. Kelinci menari, rusa berlarian, kura-kura menengadahkan kepala, dan pepohonan pun tersenyum segar kembali.

Hari-hari berikutnya, padang menjadi hijau lagi. Rumput tumbuh subur, bunga bermekaran, dan biji-bijian melimpah. Pita sangat bahagia. Namun suatu sore, ia menemukan tumpukan biji yang banyak sekali di dekat semak.


“Hore, aku punya persediaan banyak. Kalau aku simpan semua, aku tidak akan kelaparan lagi,” pikir Pita.

Namun ia teringat pada janjinya kepada Awan. “Aku harus berbagi… tapi kalau aku bagikan, persediaanku jadi sedikit. Ah, bagaimana ini?” gumamnya.


Hari berganti hari, Pita mulai lupa janjinya. Ia sibuk mengumpulkan biji hanya untuk dirinya sendiri. Ia bahkan menolak ketika Kelinci lapar meminta sedikit.

“Maaf, Kelinci. Aku butuh semua ini untuk diriku,” kata Pita cepat sambil menutup paruhnya.

Awan yang diam-diam mengawasi dari langit menjadi murung. “Pita melupakan janjinya…” gumam Awan.


Beberapa hari kemudian, langit kembali cerah tanpa awan. Matahari terasa lebih terik. Rumput mulai layu lagi. Hewan-hewan panik karena hujan tak kunjung turun.

Pita merasa gelisah. Persediaan bijinya makin sedikit. Ia teringat pada janji yang ia ingkari. Dengan penuh penyesalan, ia terbang tinggi lagi mencari Awan.

“Halo, Awan! Tolonglah, turunkan hujan lagi. Semua hewan kehausan dan kelaparan,” seru Pita.


Awan menjawab dengan suara berat, “Pita, aku menolongmu dulu karena kau berjanji akan berbagi. Tapi kau ingkar. Bagaimana aku bisa percaya padamu sekarang?”

Air mata Pita jatuh. “Aku salah, Awan. Aku egois dan tidak berbagi. Tolong beri aku kesempatan sekali lagi. Aku janji, kali ini sungguh-sungguh aku akan berbagi.”

Awan mendesah panjang. “Baiklah, ini kesempatan terakhir untukmu, Pita. Jangan ulangi lagi.”


Tak lama, langit kembali kelabu dan hujan turun deras. Pita segera berlari menemui teman-temannya. Ia membagikan biji-biji simpanannya pada Kelinci, Rusa, bahkan Kura-kura Tua. Semua hewan tersenyum bahagia dan berterima kasih padanya.


Sejak saat itu, Pita benar-benar menepati janjinya. Ia tidak pernah lagi egois dan selalu berbagi pada siapa pun yang membutuhkan.


Dan Awan pun tersenyum lega di langit. “Sekarang aku percaya padamu, Pita. Kau telah belajar arti janji dan berbagi.”


Pesan moral:

Menepati janji adalah tanda hati yang baik. Dengan berbagi, hidup kita akan terasa lebih indah dan membawa kebahagiaan bagi banyak orang.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Mimpi Besar Arisqa Rinaldi Terwujud dalam Usaha dan Doanya

Arisqa murid kelas 5 SDN 2 Kandang, Kecamatan Kleut Selatan memiliki rasa ingin tahu yang tinggi pada ilmu pengetahuan, yaitu di bidang IPA (Ilmu Pengetahuan Alam). Setiap malam, dia selalu meluangkan waktunya untuk membaca buku-buku tentang sains, melakukan eksperimen sederhana dan bertanya kepada gurunya tentang berbagai fenomena alam yang menarik minatnya. Keinginannya untuk memahami dunia di sekitarnya tidak pernah kandas dan mimpi terbesarnya adalah menjadi juara dalam Olimpiade Sains Nasional (OSN) di tingkat Kabupaten Aceh Selatan. Arisqa menyadari bahwa untuk mencapai mimpinya, dia harus bekerja keras dan berlatih dengan tekun.  Dengan dukungan penuh dari orang tuanya yang selalu mengingatkannya di depan pintu gerbang sekolahnya, ayahnya berkata, “Nak teruslah berproses dan jangan lupa hormati gurumu”.    Dengan    bimbingan dari guru-guru di sekolahnya, Arisqa mempersiapkan diri dengan baik. Setiap pagi sebelum berangkat sekolah, Arisqa selalu menyempat...

Profesor

Oleh Ahmad Rizali Berdomisili di Depok Jagat maya akademik sedang gaduh karena ibu Megawati memperoleh gelar Guru Besar Tidak Tetap Honoris Causa dari Universitas Hankam.  Beberapa sahabat saya sering jengah bahkan ada yang berang, karena kadangkala saat diundang bicara dalam sebuah perhelatan akademis, ditulislah di depan namanya gelar Prof. Dr.    Setiap saat pula beliau menjelaskan bahwa dirinya hanya S1.  Satu lagi sahabat saya yang bernasib sama dengan yang di atas. Kalau yang ini memang dasar "rodok kusruh" malah dipakai guyon. Prof diplesetkan menjadi Prov alias Provokator, karena memang senangnya memprovokasi orang dengan tulisan-tulisannya , terutama dalam diskusi cara beragama dan literasi.  Sayapun mirip dengan mereka berdua. Namun karena saya di ijazah boleh memakai gelar Insinyur, tidak bisa seperti mereka yang boleh memakai Drs, yang juga kadang diplesetkan kembali menjadi gelar doktor lebih dari 1. Saya pikir mereka yang pernah memperoleh gelar Do...

Berbagi Rambutan

  Oleh Salsabila Z   ​ Hari ini, Zain memanen buah rambutan di samping rumah bersama sang Ayah. Ia senang sekali, karena pohon rambutannya berbuah lebat dan rasanya pun manis. ​ “Alhamdulillaahh...” ujar Zain sambil memakan satu buah rambutan. ​ “Iya, alhamdulillaah...” ujar Ayah.”O ya, nanti Zain bantu Kak Salma membagi buah rambutann ini ke tetangga ya?” pinta Ayah sambil membagi  buah-buahan itu  sama banyak lalu menalinya dengan rafia. ​ “Kenapa dibagi Yah? Mending ,  kita  jual saja.  Biar tetanggak kita beli, lalu kita dapat banyak uang ,  deh,” usul Zain. Tiba-tiba terlintas dalam pikirannya untuk membeli mainan baru  dari hasil menjual rambutan  nanti . ​ “Ya, nanti kita akan jual rambutan ini kepada Pak Sukri, pedagang buah samping pasar itu. tapi tidak semuanya. Ada yang kita bagi sama tetangga dan ada juga yang kita sisihkan untuk kita makan sekeluarga,” jawab Ayah. ​ “Kok begitu Yah?” ​ “Ya, tidak ada salahn ya   dong,...